APBD


Sebuah kampung di Kabupaten Manggarai, Flores.

Oleh FRANS OBON

Sebagian besar kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur (NTT) terlambat membahas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2011. Pemerintah pusat mengeluarkan aturan bahwa anggaran akan dipotong 25 persen bagi kabupaten/kota yang terlambat membahas RAPBD. Selain itu setelah pembahasan oleh DPRD kabupaten/kota, RAPBD tersebut harus diasistensi lagi ke provinsi.

Tidak banyak yang kita ketahui alasan dan kendala mengapa RAPBD 2011 terlambat dibahas. Namun dari media kita tahu bahwa sebagian disebabkan karena adanya tarik menarik kepentingan antara legislatif dan eksekutif. Yang paling tajam perbedaan pendapat itu terjadi antara eksekutif dan legislatif Kota Kupang. Imbas dari perbedaan ini, terjadi pula perbedaan pendapat yang tajam di kalangan internal DPRD Kota Kupang.

Kerunyaman dan friksi yang muncul dalam pembahasan RAPBD antara eksekutif dan legislatif membenarkan atau menjustifikasi bahwa memang APBD telah menjadi medan pertarungan kepentingan antara eksekutif dan legislatif baik dalam konteks sumber daya ekonomi maupun dalam konteks politik.

Pada hakikatnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memuat program-program prioritas tahunan dari pemerintah yang dibiayai baik oleh dana alokasi khusus (DAK) maupun dana alokasi umum (DAU). Dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia, terutama di Nusa Tenggara Timur, sebagian besar pembiayaan program pemerintah daerah ini berasal dari dana pemerintah pusat. Sedangkan dana yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbilang kecil karena memang kondisi kehidupan ekonomi lokal juga terbilang merayap. Busung lapar, gizi buruk dan kemiskinan masih gampang ditemukan.

Secara teoretis, RAPBD berlangsung dalam dua arah yang saling komplementer. Dari rakyat dan dari pemerintah. Dari pemerintah dan dari wakil rakyat. Hal itu bisa dilihat dari proses penyusunan perencanaan pemerintah. Jauh-jauh hari sebelum pembahasan RAPBD tahun berikutnya, pemerintah sudah menggelar musyawarah pembangunan mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Kendati banyak kritikan dikemukakan dalam proses ini soal seleksi siapa yang hadir dan siapa yang tidak perlu hadir. Proses partisipatif seperti ini memang seringkali hanya merupakan prosedural semata, sebab pertarungan kepentingan terakhir ada di tingkat kabupaten. Karena hampir ditemukan di setiap kabupaten/kota, rakyat tidak punya tempat dalam pembahasan RAPBD selain hanya terlibat dalam musyawarah pembangunan dari desa hingga kabupaten.

APBD memuat program dan pembiayaan selama setahun. Ini artinya program-program yang dibuat dapat diibaratkan meletakkan batu di atas batu yang lain dari sebuah bangunan sehingga pada akhirnya setelah lima tahun pemerintahan daerah, akan terlihat bangunan seperti apa yang dihasilkan. Yang saya maksudkan di sini adalah program-program tersebut dalam tempo lima tahun akan berbicara kepada rakyat dan kepada publik luas mengenai kesuksesan dan keberhasilan dari pemerintahan yang sedang berjalan. Interprestasi terhadap keberhasilan dan kesuksesan bisa berbeda, yang tentu saja sangat tergantung pada kepentingan politik dari berbagai kelompok kepentingan.

Tapi akal sehat publik akan langsung mengetahui seberapa efektif dari program-program pemerintah, sekaligus mempresentasikan visi dan misi bupati dan wakil bupati. Hal ini bisa tercermin dalam tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Masyarakat akan langsung bisa menentukan bahwa apakah bupati dan wakil bupati telah memenuhi janji-janji kampanye mereka mengenai kesejahteraan rakyat atau tidak.

Memang harus diakui respons pemerintah daerah pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat akan juga ikut menentukan kadar kepuasan terhadap kinerja pemerintah daerah. Artinya APBD memang bukan tolok ukur tunggal untuk mengukur keberhasilan pemerintah daerah. Tapi sebagian besarnya ditentukan oleh program-program pemerintah sebagaimana tercermin di dalam APBD.

Dari pengalaman empirik kita, APBD hampir tidak sepenuhnya mencerminkan prioritas-prioritas yang saling komplementer yang dengan sendirinya mencerminkan visi, misi dan program bupati. Ini lebih disebabkan karena hampir setiap Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) menciptakan program-program, yang dalam pandangannya merupakan kebutuhan masyarakat, meski belum tentu menjadi kebutuhan masyarakat. Hal inilah yang bisa menjelaskan mengapa banyak proyek pemerintah daerah mubazir. Konsekuensi dari ini adalah program dan proyek-proyek bertaburan pada setiap SKPD tapi tidak ada “tali pengikat” yang menunjukkan bahwa program-program SKPD diikat oleh satu visi dan misi dasar, yang mencerminkan visi, misi, dan program bupati.

Tentu saja hal ini menyentuh langsung pada aspek perencanaan. Sebagaimana dikatakan oleh Peter L Berger dalam Pyramide of Sacrifice , rasionalitas perencanaan dapat dilihat dari korban yang ditimbulkan. Makin banyak korban yang ditimbulkan dari pembangunan itu, maka makin rendah pula rasionalitasnya. Hal ini dapat kita katakan secara lain bahwa makin banyak proyek yang mubazir menunjukkan bahwa makin rendah pula rasionalitas perencanaannya.

Banyak kali juga pembahasan APBD di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sama sekali tidak menolong untuk meningkatkan rasionalitas dari perencanaan pembangunan ini. Tiap SKPD berjuang dengan caranya sendiri agar program dan proyek ciptaannya diloloskan oleh DPRD. Para kepala dinas berhadapan dengan anggota DPRD yang memang sejak sebelum menjadi wakil rakyat sudah malang melintang dengan proyek-proyek pemerintah. Sebab hampir banyak anggota DPRD punya latarbelakang sebagai kontraktor dan pengusaha. Mereka memiliki pengalaman padat mengenai pengelolaan proyek pemerintah dan berpengalaman untuk mendapatkan proyek. Seandainya anggota DPRD sungguh menjalankan fungsi kontrolnya dan menjadi penyeimbang dalam menilai rasionalitas proyek-proyek yang diajukan pemerintah, maka sudah hampir pasti tidak akan ada proyek pemerintah daerah yang mubazir.

Ideal seperti ini tidak pernah terjadi karena APBD dalam arti tertentu adalah kue pembangunan, di mana setiap orang yang terlibat di dalamnya ingin ambil bagian untuk menikmatinya. Karena itu APBD berubah menjadi medan pertarungan kepentingan antara legislatif dan eksekutif. Kepentingannya bisa berbeda-beda, tapi pada umumnya pertarungan ekonomi dan politik.

Dari segi politik, dari pembahasan APBD itu kita bisa mengetahui seberapa ajeknya hubungan eksekutif dan legislatif. Hubungan yang ajek itu tentu saja tergantung pada kemampuan pihak eksekutif terutama bupati dan wakil bupati membangun kemitraannya dengan DPRD. Memburuknya hubungan antara bupati dan wakil bupati dengan DPRD dapat pula dibaca dari pembahasan APBD. Kemitraan adalah sebuah kertas kosong. Bagaimana kertas kosong itu ditulis, tergantung pada tingkat saling pengertian antara kedua belah pihak.

Dari segi ekonomi, APBD adalah kue yang enak, yang membuat tiap orang mau mendapatkan bagiannya. Karena seluruh sumber pembiayaan program pemerintah tercantum dalam APBD. Program-program itu ada di SKPD. Ekonomi dan politik, karenanya, saling kait mengait. Karena itu pula APBD juga menceritakan kepada kita hubungan simbiosis mutualisme antara mereka yang berkepentingan di dalamnya.

Karena itu membahas APBD tidak hanya membahas angka-angka dan program-program, tapi juga membangun komunikasi politik. Karena itu seni politik dalam pembahasan APBD adalah seni membagi. Jadi, politik anggaran adalah seni membagi dalam politik.

Asal Omong, edisi 22 Januari 2011

Tinggalkan komentar