Berpeluh Keringat di Ladang Petani

MENANAM SAYUR — Bupati Nagekeo dokter Johanes Don Bosco Do dan Ibu dokter Yayik Pawitra Gati menanam sayur di Kotakisa, Desa Nataia di lokasi milik petani milenial, Jumat (10/9/2021).

Oleh Frans Obon

Jalan berliku Malagaro menuju Boanio, Kecamatan Aesesa menceritakan sisi lain dari Kota Mbay.  Di jalan yang mulus beraspal tersebut, Bupati Nagekeo dokter Johanes Don Bosco Do dan Ibu dokter Yayik Pawitra Gati dengan menumpang EB 1 meluncur menuju Boanio.

Di Kotakisa, Desa Olaia, Kecamatan Aesesa, sebuah kelompok petani milenial telah menunggunya. Bedeng-bedeng sayur telah disiapkan. Bibit-bibit sayur yang akan ditanam Bupati Don dan Ibu, diletakkan di atas bedeng.

Dua hari, Kamis (9/9/2021) dan Jumat (10/9/2021), saya dan Willy Grasias dari Berita Satu media holdings mengikuti kegiatan Bupati Don di Mauponggo dan Mbay. Jumat pagi Bupati Don ikut bersama masyarakat membangun saluran irigasi Mbay kanan. Pengerjaannya menggunakan pola padat karya dengan melibatkan masyarakat pemilik lahan sawah. Di bawah Komando Pelaksana Tugas Kadis Transmigrasi dan Ketenagakerjaan, Heri Asan.

Peluh berkeringat. Mengangkat batu, menaruhnya dan mencedok campuran semen. Berkeringat bersama masyarakat. Membaur di antara pekerja, yang adalah rakyatnya sendiri.

Jika tidak ada mobil EB 1 dan mobil Satuan Polisi Pamong Praja yang diparkir di dekat situ, mungkin orang yang lewat tidak akan tahu bahwa seorang bupati, orang nomor satu di kabupatennya, berpeluh keringat bersama rakyatnya di ladang-ladang petani. Bekerja agar masyarakatnya sendiri memiliki ketahanan pangan. Berkecukupan pangan dan memiliki akses pada pangan.

Pilihannya bukan tidak punya risiko.  Satu prioritas menyisihkan prioritas lain adalah konsekuensi dari pilihan. Itulah risiko dari keterbatasan sumber daya keuangan. Juga sebagai dampak paling serius dari pandemi Covid-19. Pilihan harus dilakukan. Tentu saja bukan sekadar pilihan, tapi pilihan sadar dengan basis pertimbangan rasional. Dan kita tahu ke mana kita bergerak dan hasil apa yang dapat kita perkirakan.

Sejenak beristirahat. Bupati Don menuju dapur menemui ibu-ibu.

“Pak Frans, mana kita tidak kolesterol jika setiap hari kita makan daging seperti ini,” kata Bupati, sambil mengarahkan matanya pada baskom yang penuh berisi daging yang belum di masak yang ditaruh di tenda di sekitar dapur.

Mereka meminta Bupati datang kembali  untuk makan siang bersama. Tapi Bupati Don punya jadwal padat. Bupati langsung menuju Rumah Sakit Aeramo karena di sana Bupati akan melakukan peletakan batu pertama pembangunan pagar Rumah Sakit Aeramo.

Sebagai pribadi yang lahir dan besar di daerahnya, Bupati Don dengan sabar menunggu pemangku adat Nataia untuk melakukan ritus adat seturut adat istiadat  setempat. Di bawah terik matahari Mbay yang panas.

Pemangku adat suku Nataia, Patris Seo memohon maaf atas keterlambatannya karena dia barusan selesai melakukan ritus adat yang sama di tempat lain. Suatu ekspresi kebijaksanaan lokal (local wisdom), warisan leluhur.

“Mohon maaf Pak Bupati”. Padahal dia datang terlambat belum sampai lewat dari lima menit.

Suku Nataia berada di Olaia, sebagian di Ngegedhawe dan sebagian lagi di Aeramo dan Nangadhero.

Panitia kecil telah menyediakan kursi untuk istirahat sejenak, tetapi Bupati masih punya jadwal lainnya. Bupati masih harus membuka kegiatan penguatan kapasitas pendidikan anak usia dini di aula Kantor Bupati. Maka Bupati kembali ke Rumah Jabatan untuk bersiap diri ke acara tersebut.

Selepas dari kegiatan penguatan kapasitas Bunda PAUD Nagekeo, Bupati harus menyiapkan diri lagi untuk menghadiri acara pemakaman seorang ASN, yang meninggal sehari sebelumnya. Di sana sebagai pemimpin upacara, Bupati Don harus mengenakan pakaian yang lengkap: jas dan dasi.

Hari sudah sore. Bupati dan Ibu bersama rombongan Kabag Humas Nagekeo Silvester Teda Sada, meluncur di jalan aspal yang mulus menuju Boanio.

Mobil menepi di Kotakisa, Desa Nataia. Bupati langsung mengenakan sepatu boot yang dibawa serta dalam mobilnya dan menuju lokasi.

Dalam kunjungan dua hari yang saya ikuti, kita tidak jumpai acara penyambutan yang wah, sebagaimana lazimnya penerimaan kunjungan para pejabat di daerah kita.

Bupati Don dan Ibu langsung menuju lokasi. Menanam anakan mentimun yang telah disiapkan. “Klik” saya mengambil gambar berkali-kali. Dua bedeng panjang tuntas ditanam. Lalu rombongan beristirahat sambil minum kopi dan teh disertai ubi dan jagung rebus. Santai. Menyenangkan.

Seorang balita perempuan begitu betah di pangkuan Ibu Bupati. Tidak ada jarak antara rakyat dan pemimpinnya. Di tempat ini kekuasaan tidak mengambil jarak dari mana asalnya dan kepada siapa kekuasaan diabdikan.

Jika Anda melihat bahwa Bupati mengenakan dasi, itu karena Bupati dan Ibu langsung datang dari acara resmi  pemakaman seorang ASN yang menjabat sebagai Kepala Bagian di Setda Nagekeo.

Bupati dan Ibu tidak ingin anggota kelompok menunggu terlalu lama. Maka langsung saja Bupati dan Ibu berangkat menuju lokasi kelompok tani.

Kelompok Kotakisa, yang lokasinya terletak di pinggir jalan utama Mbay-Aegela sebenarnya adalah kelompok yang ingin mempraktikkan pelatihan yang telah mereka ikuti di Bridge Academy Nagekeo. Sebelumnya, selama dua bulan mereka dilatih dalam hal keterampilan budi daya sayur dan buah-buahan dan digembleng disiplin dirinya oleh Bridge Academy Nagekeo yang diawaki oleh seorang insinyur pertanian, Kasianus Sebho.

Semula ada 15 orang mengikuti pelatihan, namun pada akhirnya 10 orang yang bertahan. Di Bridge Academy Nagekeo  mereka diberi lahan yang harus diolah mulai dari tahap pembersihan lahan hingga panen.

Jika nanti ada peserta gelombang kedua, mereka harus mulai dari awal lagi. Tidak boleh ada peserta yang hanya melanjutkan pekerjaan kelompok yang lebih dulu.

Bridge Academy Nagekeo, begitu Kasianus menjelaskan, adalah sebuah jembatan perubahan yang hendak menarik anak-anak muda untuk menjadi petani milenial.

“Dalam dua bulan itu, pelatihan difokuskan pada soft skill, sebuah upaya mengubah pola pikir untuk mencintai kerja tangan, mencintai pertanian. Di tambah disiplin. Mereka bangun dan bekerja secara teratur,” kata Kasianus.

Pendampingan terhadap mereka, kata Kasianus, tidak hanya bersifat sesaat melainkan secara kontinyu. Mulai dari pembersihan lahan hingga pemasaran hasil produksi. Pola yang hampir sama ketika mereka berada di Bridge Academy Nagekeo.

“Kami akan melakukan monitoring, pendampingan mulai dari pembersihan lahan hingga pemasaran hasil produksi selama setahun.  Lahan diolah menggunakan traktor tangan dan menggunakan irigasi tetes,” katanya.

Mimpi kita ke depan, kata Kasianus, adalah memiliki tempat pemasaran untuk menjual hasil produksi hortikultura anggota.

Sebagai modal kerja, anggota kelompok mendapat pinjaman bank dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR) mulai dari 5 juta rupiah hingga 20 juta rupiah. Untuk menjamin pembiayaan ke depan, anggota kelompok membentuk koperasi dengan nama Uang: Uma Agro Nagekeo.

Antonius Je, pemilik lokasi, mengaku begitu senang ketika Bupati dan Ibu hadir di lokasi. Dia sangat berterima kasih. Kedatangan Bupati dan Ibu menyemangatinya, menguatkan motivasinya untuk menekuni usaha ini.

“Saya sangat terharu. Setelah kami mengikuti pelatihan di Totomala Wolowae di Bridge Academy Nagekeo, kami tertantang untuk memulai usaha sendiri di tempat milik kami sendiri. Kehadiran Bapak Bupati dan Ibu memperkuat motivasi dan komitmen kami untuk menekuni usaha ini,” katanya.

Yohanes Niku, Ketua Himpunan Pariwisata Indonesia (HPI) Nagekeo, mengaku bahwa kehadiran Bupati dan Ibu menambah semangat.

“Kehadiran Bapak Bupati dan Ibu menyemangati kami dan memotivasi kami untuk menekuni usaha pertanian. Kehadiran Bapak Bupati dan Ibu menunjukkan bahwa pemimpin kabupaten ini peduli dengan persoalan petani dan kaum muda. Apalagi usaha ini adalah usaha petani milenial,” katanya.

Yohanes mengatakan, usaha kelompok tani milenial ini adalah sebuah jawaban terhadap program pariwisata pemerintah Kabupaten Nagekeo.

“Cita-cita kami ke depan adalah usaha-usaha kelompok tani milenial ini akan dijadikan salah satu model agrowisata. Produksi sayur-sayuran dan buah-buahan kelompok tani milenial ini akan dapat memenuhi kebutuhan industri pariwisata,” katanya.

Tapi dalam tujuan terdekatnya adalah memenuhi kebutuhan sayur-sayuran dan buah-buahan bagi pekerja proyek Waduk Lambo, yang lokasinya di daerah yang sama.

Lokasi yang disiapkan terlihat subur. Apalagi kelompok petani milenial ini  menggunakan pupuk bokasi. Ada optimisme bahwa setiap kerja keras tidak akan sia-sia.  Rahmat akan selalu bernaung di atas kepala mereka yang mau bekerja keras. Berpeluh keringat.

“Tidak lama lagi Waduk Lambo akan dikerjakan. Kita mau kebutuhan para pekerja tidak didatangkan dari luar melainkan disuplai oleh masyarakat sekitar.  Sebab kalau tidak, manfaatnya akan diperoleh orang dari tempat lain. Karena itu saya berharap dari usaha seperti ini, kebutuhan para pekerja di Waduk Lambo dipasok dari sini,” kata Bupati.

Bukan hanya sayur, tetapi juga kebutuhan daging ayam terutama ayam lokal yang dalam bahasa Flores, ayam kampung.

“Kita sedang menghadapi apa yang disebut bonus demografi di mana jumlah golongan usia muda lebih besar. Tapi kita tidak pernah tahu kehidupan awal dari generasi muda sekarang. Kita berharap tidak ada resiliensi terhadap perubahan,” kata Bupati.

Sebaliknya generasi muda kita, lanjut Bupati, menjadi generasi yang produktif, menangkap peluang-peluang yang tersedia di depan mereka. Salah satunya sebagaimana dilakukan kelompok tani milenial.

Bupati berharap ada keberlanjutan yang lebih konsisten dalam usaha seperti ini. Artinya usaha ini tidak terhenti di jalan dalam satu dua tahun ke depan.

“Saya datang ke sini untuk memberi motivasi dan dorongan agar kelompok tani milenial ini bertahan. Maju terus. Bermanfaat dan dapat meningkatkan penghasilan kelompok tani. Usaha kelompok tani milenial ini akan menjadi inspirasi bagi anak-anak muda lainnya karena letaknya yang strategis di pinggir jalan utama,” katanya.

Hari perlahan-lahan mulai gelap. Tapi masih ada lokasi lainnya yang harus dikunjungi. Di tengah sawah, dengan jalan berkelok-kelok. Di sana ada air yang terbuang percuma. Mobil EB 1 terus perlahan mendekati lokasi. Berhenti di sebuah petak sawah yang luas. Hamparan lahan sawah terbentang di depan mata.

Bupati menaiki tangga pagar, yang terbuat dari bambu dan kayu. Takutnya jangan-jangan tangga patah. Tapi syukur, Bupati melewati pagar dan berhenti di sebuah pompa air yang mengalir sepanjang waktu. Buang percuma. Bagaimana agar air tidak terbuang begitu saja? Di sana ada begitu banyak kerikil atau kendala. Tapi di tangan Bupati yang sering berpeluh keringat di ladang-ladang petani, tidak ada yang tidak bisa diselesaikan. Melalui cara dialog dan duduk bersama.

Hari mulai malam. Kami menuruni bukit menuju Mbay. Dari atas ketinggian, kita melihat Kota Mbay yang makin berkembang. Kita optimistis bahwa Mbay adalah masa depan yang menjanjikan. Di tangan pemimpin, yang tidak takut berpeluh keringat menggerakkan rakyatnya, sebuah kabupaten baru bisa melejit.

Tinggalkan komentar