Suara Kita untuk Perkara Kaum Miskin (2)

Kios buah-buahan di Detusoko, Kabupaten Ende. (photo/frans obon).

Oleh Frans Obon

Globalisasi ketidakpedulian

Dalam Evangelii Gaudium (EG), Paus Fransiskus mengatakan bahwa globalisasi membawa dampak lain. Ketika individualisme menguat dan merajalela, kepentingan egosentrisme dipuja, maka terjadi globalisasi ketidakpedulian. “Gaya hidup yang egoisme, atau mempertahankan antusiasme demi cita-cita egoisme, dikembangkan globalisasi ketidakpedulian” (EG No. 54).

Dampak buruk dari globalisasi ketidakpedulian ini, “kita tidak mampu merasakan belas kasih kepada jeritan kaum miskin, menangis untuk penderitaan sesama”.  Dalam situasi demikian, ada banyak orang kehilangan kegembiraan dan sukacita serta harapan. “Orang harus berjuang untuk hidup dan seringkali hidup dengan sedikit martabat manusia” (EG No. 52).

Dari sekian banyak sebab, uang adalah salah satunya karena “kita diam-diam menerima hegemoni uang terhadap diri kita maupun terhadap masyarakat kita. Krisis finansial dewasa ini bisa membuat kita mengabaikan fakta bahwa hal itu berakar pada krisis manusia yang mendalam: penyangkalan atas keluhuran pribadi manusia” (EG No. 54). Terjadi proses reduksi manusia sebagai dampak dari “kedok baru dan kejam pemujaan uang dan kediktatoran ekonomi impersonal yang tidak memiliki tujuan manusia sejati” (EG No. 54).

Suara kita untuk perkara kaum miskin

Memihak orang miskin adalah bagian dari panggilan hakiki Gereja. Sebab berakar di dalam sikap Yesus terhadap orang miskin. “Iman kita akan Kristus yang menjadi miskin dan selalu dekat dengan kaum miskin dan tersingkirkan, adalah dasar kepeduliaan kita pada pengembangan seutuhnya anggota masyarakat yang paling terabaikan” (EG No. 186).

Mengikuti Yesus Sang Guru berarti pula mengambil bagian di dalam perutusannya. Maka setiap orang Kristen dipanggil menjadi sarana bagi Allah “untuk membebaskan dan memajukan kaum miskin”  dan karena kita tahu bahwa “Bapa yang mahamurah ingin mendengarkan jeritan kaum miskin” (EG No. 186). Jika panggilan memihak kaum miskin adalah panggilan iman, maka keterlibatan dalam persoalan orang miskin bukanlah tugas orang-orang tertentu, namun “lahir dari karya rahmat yang membebaskan dalam diri kita masing-masing” dan karenanya mengharuskan setiap orang beriman “bekerja sama untuk menghapus sebab-sebab struktural kemiskinan dan memajukan pengembangan seutuhnya kaum miskin” (EG No. 188).

Solidaritas

Untuk menghapus akar struktural kemiskinan tersebut, diperlukan solidaritas  dan “keyakinan dan praktik solidaritas ini, ketika mendarah daging, membuka jalan kepada perubahan-perubahan struktural lainnya dan memungkinkan terjadinya hal itu. Mengubah struktur tanpa menghasilkan keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap baru hanya akan mengakibatkan bahwa struktur-struktur yang sama itu cepat atau lambat akan menjadi korup, menindas serta tidak efektif” (EG No. 189).

Keterlibatan dan kepekaan terhadap persoalan kemiskinan dan masalah orang miskin hanya dimungkinkan oleh keterlibatan langsung dan sikap empati dan menjadikan mereka “sebagai salah seorang dari kita, menghargai mereka dalam kebaikan mereka, dalam pengalaman hidup mereka, dalam budaya mereka dan dalam cara mereka menghayati iman” (EG No. 199).

“Perintah mendengarkan jeritan kaum miskin mendarah daging dalam diri kita bilamana kita sangat tersentuh oleh penderitaan orang lain” (EG No. 193) dan jika telah mendarah daging, maka hal demikian “mempengaruhi cara berpikir… dan membantu menciptakan perlawanan profetis sebagai budaya tandingan menghadapi hedonisme egosentris” (EG No.193).

Namun keberpihakan kepada orang miskin lebih sebagai “kategori teologis daripada kategori budaya, sosiologis, politis atau filosofis” (EG No. 198). Dari orang miskin, kita dapat memperoleh hal-hal yang berguna bukan saja dalam hal sensus fidei (cita rasa iman), tetapi “dalam kesulitan-kesulitan mereka, mereka mengenal Kristus yang menderita” dan “menaruh mereka di pusat jalan peziarahan Gereja” (EG No 198).

Konsekuensi logis dari ini adalah panggilan Gereja “untuk menemukan Kristus di dalam mereka, untuk meminjam suara kita bagi perkara-perkara mereka, tetapi juga menjadi sahabat-sahabat mereka, mendengarkan mereka, memahami mereka dan menerima hikmat tersembunyi yang ingin disampaikan Allah kepada kita melalui mereka” (EG No. 198).

Fenomena apa?

Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, mengatakan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula” (GS No. 1).

Konsili hendak menegaskan komitmen Injili untuk menjawabi persoalan umat manusia dan memberi prioritas pada orang miskin dan terlantar. Kata-kata “terutama” adalah sebuah skala prioritas dalam memberikan tanggapan. Maka dengan demikian, persoalan orang-orang miskin dan terpinggirkan harus diberi perhatian utama, harus mendapat pembelaan dari Gereja dengan suara profetis.

Suara gereja disebut profetis karena suaranya diterangi oleh iman akan Allah sebagaimana begitu terang benderang dalam Injil, menampakkan wajah Yesus dan di dalam bimbingan Roh Kudus. Dari sekian persoalan manusia, Gereja memberi prioritas menjawabi persoalan orang-orang miskin dan terpinggirkan dan membela hak-hak dan martabatnya sebagai manusia.

Iman akan Kristus dan dibimbing oleh Roh Kudus “dalam ziarah menuju Kerajaan Bapa… harus diberitakan kepada semua orang” (GS No. 1). Konsili Vatikan II ingin menegaskan bahwa pembicaraan mengenai tanggapan Gereja terhadap masalah manusia dewasa ini tidak hanya diberikan ke persoalan-persoalan yang dihadapi orang-orang Kristen melainkan kepada semua persoalan manusia. “Maka tanpa ragu kepada semua manusia, bagaimana Gereja memahami kehadirannya dan usahanya di dalam dunia dewasa ini’ (GS No. 2). Tanggapan Gereja tersebut mengungkapkan hakikat dan jati diri Gereja dan bagaimana Gereja mewartakan Injil keselamatan dalam hal menanggapi masalah manusia dewasa ini.

Untuk bisa mengusahakan keselamatan semua manusia itu, Gereja tidak bisa melakukannya sendiri tanpa “mengusahakan dialog dengan umat manusia mengenai pelbagai masalah tersebut, dengan membawakan terang yang diambil dari Injil dan dengan menyumbangkan bagi umat manusia kekuatan yang menyelamatkan, yang diterima Gereja sendiri dari Pendirinya di bawah bimbingan Roh Kudus” (GS No. 3).

Tujuan dari keterlibatan ini adalah “pribadi manusia harus diselamatkan dan masyarakat harus diperbarui” (GS No. 3). Manusia di sini dipahami dalam konteks “manusia yang utuh menyeluruh, dengan jiwa dan raga, dengan hati dan hati nurani, dengan pikiran dan kehendak” (GS No. 3)

Agar Gereja bisa memberikan kesaksian yang berdaya guna dan efektif dalam keterlibatannya untuk membangun manusia dan memperbarui masyarakat, maka “Gereja wajib menelaah tanda-tanda zaman, lalu menafsirkannya dalam terang Injil” (GS No. 4). Maka apa yang menjadi ciri khas pembeda keterlibatan Gereja dalam keterlibatan sosialnya adalah memperlihatkan wajah Injil. Gereja harus kembali ke akarnya Kitab Suci: bagaimana Allah menanggapi persoalan dan penderitaan manusia.

Perkembangan dunia begitu pesat dewasa ini. Konsili Vatikan II pun mengakuinya dan menguraikan perubahan-perubahan yang mendasar yang menimpa manusia oleh perkembangan tersebut. Konsili mengatakan, “umat manusia beralih dari paham yang lebih statis tentang tata ada ke paham yang lebih dinamis dan evolutif; dari situ muncul tumpukan baru yang sangat besar dari masalah-masalah, yang menuntut analisa dan sintesa baru” (GS No. 5).

Analisis dan sintesa baru memang diperlukan agar keterlibatan Gereja dalam persoalan sosial mengena dan tepat sasar. Gereja harus selalu bertanya pada dirinya, dalam dialog dan dalam kontemplasinya: fenomena apa ini? Peran inilah yang selalu ditunggu-tunggu dan diharapkan oleh manusia dari Gereja. Itulah sebabnya setiap kali ensiklik sosial yang baru diterbitkan oleh Gereja selalu disambut dengan baik. Bahkan ensiklik sosial Gereja menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah habisnya dalam mengatasi masalah-masalah sosial.

Dalam konteks Gereja lokal, fungsi inilah yang juga diharapkan. Umat beriman pun masyarakat umum menanti dengan penuh harapan analisa dan sintesa baru yang diberikan Gereja dalam menanggapi persoalan sosial kemasyarakatan. Tetapi juga harapan demikian sekaligus menantang Gereja untuk membuktikan kata-katanya sendiri. Mata banyak orang memperhatikan dengan saksama apakah Gereja sungguh konsisten dengan kata-katanya? Karena kata-kata dan tindakan-tindakan Gereja akan dapat mempengaruhi daya kesaksiannya di tengah dunia.

Posisi kita?

Sudah barang tentu bahwa berdasarkan perintah Injil, Gereja perlu menjadi suara yang akan menyampaikan “perkara-perkara orang miskin dan terpinggirkan”, menjalankan panggilan profetis untuk melawan struktur-struktur sosial yang menindas dan mengabaikan kepentingan orang-orang miskin. Kepedulian dan keberpihakan pada orang miskin tidak bisa efektif bila berjalan top-down, dalam pengertian bahwa sebagian orang menjadi “orang serba tahu” dan sementara orang miskin menjadi objek dari pengetahuan dan tindakan kita. Oleh karena itu keberpihakan itu harus selalu mengandaikan adanya prinsip partisipatif dan dialogal.

Sikap yang diperlukan adalah adanya penghargaan yang tulus terhadap mereka, mendengar dan masuk ke dalam cara berpikir dan budaya mereka sehingga di dalam perjumpaan dengan mereka, tidak ada sikap menggurui. Ada orang yang lebih tahu dan ada yang tidak tahu. Ada orang sudah punya seperangkat penyelesaian masalah dan yang lain hanya menerima. Ada yang merasa memahami masalah dengan lebih baik dan yang lainnya tidak mengerti persoalan. “Hanya berdasarkan kedekatan nyata dan tulus inilah kita dapat dengan tepat mendampingi orang-orang miskin di jalan pembebasan mereka” (EG No. 199).

Siapakah mereka?

Pertanyaan ini amat penting agar kita dapat mengambil posisi yang tepat. Karena terkadang kita memiliki kategori ekonomis tertentu dalam melihat orang miskin. Umumnya kita dapatkan kategori ini dari data-data dan angka-angka statistik. Namun dalam konteks tertentu, kita bisa melihat dari sisi lain.

Dalam buku Tolak Bungkam, Suara Teolog Pembebasan (2003: 161-170) di mana ada artikel saya di dalamnya, saya berpendapat bahwa orang miskin dalam konteks Flores tidak lain adalah masyarakat kita yang sebagian besar ada di pedesaan. Kasat mata kita bisa lihat kondisi desa-desa kita. Maka sebagian besar masyarakat miskin itu ada di pedesaan, yang juga merupakan konsentrasi terbesar dari penduduk kita. Ekonomi pedesaan yang subsisten, kepemilikan lahan yang kecil dan produktivitas pertanian yang rendah hanyalah sebagian kecil dari persoalan di pedesaaan kita di Flores. Dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, ruang hidup dan lahan pertanian makin sempit. Situasi yang tidak mendukung ini mendorong migrasi tenaga kerja pedesaan keluar dari Flores.

Dalam satu dekade terakhir, masyarakat pedesaan di Flores dan Lembata harus berjuang melawan industri pertambangan dengan berbagai argumentasi penolakan. Ada janji kesejahteraan di dalamnya. Namun pengalaman di tempat lain menimbulkan pertanyaan, apa memang demikian. Sudah banyak suara profetis Gereja disampaikan dalam menyikapi persoalan pertambangan. Gereja berdiri di sisi masyarakat pedesaan dalam persoalan ini dan berbagai upaya penyadaran (konsientisasi) dilakukan oleh Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC).

Mengapa pedesaan? Sejak tahun 1970-an gelombang migrasi tenaga kerja pedesaan keluar Flores dimulai dan terus meningkat pada tahun-tahun sesudahnya. Dalam satu dua kasus orang meminjam uang dengan jaminan tanah pertanian untuk membiayai keberangkatan ke luar negeri. Tapi ada yang tidak bisa mengembalikan uang tersebut sehingga mereka kehilangan lahan pertanian.

Migrasi tenaga kerja ini bukan tanpa ongkos sosial ekonomi. Yang paling rentan adalah keluarga. Perempuan-perempuan di pedesaan dipaksa menjadi orangtua tunggal dan anak-anak kehilangan momen didampingi kedua orang tua. Mereka tumbuh tanpa kehadiran ayah. Keluarga menjadi sangat rentan.

Itulah sebabnya Gereja perlu menjadi tiang masyarakat pedesaan tempat mereka melihat, menyandarkan diri ketika lelah menghadapi kesulitan hidup dan memang seringkali memandang penuh harap untuk mendapatkan pendampingan, pertolongan dan perlindungan. Itulah alasan lain mengapa umat beriman selalu meminta pertolongan Gereja dan menjadikan Gereja “suara untuk perkara-perkara orang-orang miskin dan terpinggirkan”  ketika mereka menghadapi sistem ekonomi kapitalis dan struktur-struktur sosial yang menindas dan menyesakkan. Mereka butuhkan suara profetis Gereja. Oleh panggilan dan hakikat dirinya, Gereja perlu mendengarkan jeritan mereka. 

Tanpa keberpihakan kepada orang-orang miskin “pewartaan Injil yang merupakan tindakan amal kasih yang pertama, menghadapi risiko yang disalahpahami atau tenggelam dalam samudera kata-kata yang sehari-hari membanjiri kita dalam masyarakat media komunikasi massa” (EG No. 199).

Penutup

Sasaran dari tindakan keberpihakan pada orang miskin adalah pembebasan orang-orang miskin dan memberi mereka energi baru untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan mereka demi kesejahteraan dan harkat dan martabat. Kombinasi antara tindakan karitatif dan pemecahan persoalan kemiskinan dari banyak segi tilik dan sudut pandang merupakan dua jalan pembebasan.

“Orang miskin akan selalu ada bersama kamu” adalah pernyataan dan proklamasi bahwa persoalan yang sama akan selalu ada bersama kita. Tapi ikhtiar kita untuk mengatasi berbagai macam akar persoalan kemiskinan adalah tugas yang selalu sama namun menuntut jawaban-jawaban baru. Karena “orang miskin akan selalu ada bersama kamu” pada satu sisi bisa menimbulkan kejenuhan yang berakibat pada indiferentisme, tapi melalui kontemplasi dalam terang Injil dan menoleh kembali pada jati diri panggilannya, Gereja selalu dituntut untuk menemukan jalan-jalan baru yang lebih segar.

Catatan: Gambar hanyalah ilustrasi.

Serial artikel ini pernah dimuat di Mingguan Florespos Net

Ruteng, 16 Juni 2021

Tinggalkan komentar