Pada tahun 2016, saya coba bikin puisi dan sajak-sajak. Ini hanya sekadar mengisi waktu senggang dan coba bermain untuk menghibur hati. Selamat menikmati kalau dirasa enak. Salam.
DOA KAMI
Doa kami Tuhan
hasil permainan kata
asap dari kayu lapuk
berharap jadi awan berhujan rahmat
Doa kami Tuhan
peluh setetes darah
berteriak sekeras batu cadas
dari ladang petani yang terlupakan
Doa kami Tuhan
Goresan pena tak terbaca
pada kertas buram sekali pakai
Dari tempat sampah kehidupan kami
Doa kami Tuhan
Dari lidah yang terikat pada bumi
Berharap mendulang kasih
Dari lidah api mencerahkan budi
Doa kami Tuhan
Doa dalam diam kehilangan kata
Dari kebisuan nalar dan kehampaan jiwa
Berharap pada roh dalam doa tak terucap.
Ruteng, 13 April 2016
AIR MATA KAMI
Air mata kami
Mata air mengering
Ditelan bumi dahaga
Air mata kami
Air mata kami
Mengalir tanpa henti
Pada musim kering
Angin meranggas bumi
Kami bertanya
Pada bumi yang dipeluk erat
Air mata kami
Mata air mengering
Oh bumi yang rakus
Air mata kami
Mengapa tidak pernah lelah
Memeras air mata kami
Kami tidak bisa lagi menangis
Dengan air mata kami
Pada bumi mengering
Menusuk tulang
Asa terpupus
Dalam cakar yang mencabik
Pada bumi yang beringas
Menelan air mata kami
Ruteng, 6 April 2016
PERCAYA
Percaya pada kata-kata
Ditaruh pada batu dan kayu
Air mengalirkan roh-roh lama
Menenangkan hati menenggelamkan budi
Dunia lama kami hilang
Di balik bumi dikubur masa
Berlalu bersama awan
Diterbang angin musim tenggara
Datanglah zaman baru
Membawa nafas baru
Iman pada janji yang mempribadi
Membuat kami menjadi baru
Kami pendek nafas terengah-engah
Berenang dalam lautan masa
Menawarkan iman baru
Pada sosok tanpa pribadi
Kami percaya pada imajinasi
Bikinan kami sendiri
Menaruh kata pada barang
Mengganti kata pada batu, kayu, air dan pohon
Kami bersimpuh kaki di bawah
Bayang-bayang ciptaan sendiri
Mengganti yang pribadi
Menaruh iman pada yang tiada
Ruteng, 17 Maret 2016
MEMANDANG LANGIT
Tiap kali aku memandang langit
Dalam doa berharap mendekap langit
Tapi langit terus menjauh
Menggapai Dia yang empunya langit
Tiap kali aku memandang langit
Untuk menumpahkan yang tak tertumpah
Tapi langit terus ditarik
Ke dalam diri dari Dia yang empunya langit
Tiap kali aku memandang langit
Ingin seperti hujan tertumpah dari langit
Berharap menumbuhkan yang baru
Tapi langit makin membisu tak tertangkap nalar
Tiap kali aku memandang langit
Untuk menyampaikan keluhan tak terucap
Tapi langit menutup diri dalam selimut awan
Seperti mengaso dalam lelap yang tak terkira
Lalu aku berseru: langit, o langit
Mengapa kau tak lagi peduli padaku
Tapi langit terus menutup diri
Dengan tirai hitam pekat gelap
Aku mulai berhenti memikir langit
Tapi tiba-tiba aku mendengar suara dari langit
Menumpah pada jiwa yang kosong
Eli, Eli, lamasabachtani.
Kembali aku bergairah memandang langit
Berharap pada kata-kata selangit
Tapi langit menampakkan tanda langit
Dalam suara yang nyaris merdu tak tertanding oleh bumi:
Eli, Eli lamasabachtani
Aku lalu berhenti memandang langit
Menoleh pada dinding
Berteriak sekuat langit dalam diam
O crux, ave crux, spes unica
(O Salib, salam ya Salib, satu-satunya harapan)
Ruteng, 2 April 2016
TIMUNG CUMBU
Timung cumbu uma rana
Lesak leso iling mbau
Rantang darap timung rana
Iling mbau wela wangkung
Gerak tana timung cumbu
Lako londang teku wae
Le salang ndurus wae lu’u
Lelak hae lako loleng wae
Neka lelak loce renda lau mai
Pencang wejang natas labar
Neka imbis tombo nipi lau mai
Ledong sapo naang bara
Timung cumbu uma rana
Pangga paang nggalu ngaung
Naka cama natas labar
Caka darap lete ntaung
*Puisi berbahasa Manggarai, Flores
Ruteng, 13 Maret 2016
PADA BULAN
Pada bulan di balik awan
Mari kita bermain lagi
Menjawab rindu tak terkira
Mendekap yang terhilang
Pada bulan yang jenaka
Mari kita bercerita lagi
Merindu tawa ditemani pelita
Dari kisah yang tak terkisahkan lagi
Pada bulan yang tersenyum
Mari kita bernyanyi lagi
Di depan rumah berkaki telanjang
Melepas lelah menghibur hati
Pada bulan yang makin menjauh
Kami meringkuk di bawah bayang
Sepi menepi di pinggir tepi
Tak terjangkau gemuruh suara
Pada bulan beribu-ribu bulan
Rindu kami sudah tak bertepi
Pada kisah yang sudah hilang
Pada bentuk yang tak terbayang lagi
Ruteng, 16 Maret 2016
MENGHITUNG
Kau bilang pembangunan untuk kami
Menolak takdir mengubah nasib
Kami pun mengangguk berkali-kali
Menaruh nasib pada sejuta asa
Kau bilang pembangunan berasaskan nilai
Tapi tiap kali melanggar atas nama kami
Menghapus jejak kaki kami
Menulis di atas pasir disapu ombak
Kau bilang kita hidupkan budaya
Agar kita mengakar pada tanah
Namun kami tercerabut
Disapu tsunami kapitalisme merenggut
Sampai ke akar
Kau bilang reformasi menciptakan langit baru
Dan bumi akan menumbuhkan padang hijau
Namun kami menunggu memetik langit tak terpetik
Demokrasi meranggas di atas bumi berpijak
Kau bilang kata-kata tak terbilang
Pada kami yang lelah menghitung yang tak terbilang
Terhanyut air menuju laut yang menghilang
Bersama deburan ombak memukul balik
Ruteng, 16 Maret 2016
MATAHARI
Matahari
Kami menyambutmu
Dengan bumi yang meranggas
Menyisakan satu demi Satu
Bagi generasi yang mendatang
Matahari
Kami menghilangkan satu demi Satu
Katanya demi kemakmuran
Rakyat berlimpah sejahtera
Lahir dan batin
Matahari
Kata-kata kami adalah daun yang jatuh
Pada musim rontok buatan tangan kami sendiri
Hangus terbakar api kerakusan
Mimpi kemakmuran kami sendiri
Matahari
Jiwa kami lelah dengan kehidupan yang meranggas
Menyisakan satu demi satu
Tak ada sisa untuk dikisahkan
Cukuplah bagi kami sepotong daun
Ruteng, 15 Maret 2016
MENYERAH
Debu membentuk
Nafas mendaging
Manusia terbentuk
Dalam debu dan kemuliaan
Manusia berharap
Membentang jalan
Sejarah panjang
Datang tiba-tiba
Nasib dalam debu
Membalut luka
Terbelit onak dan duri
Membusuk dalam daging
Tuhan
Kami menyerah
Dari dalam debu
Berharap kemuliaan
Ruteng, 12 Maret 2016
CINTA
Cinta adalah perjalanan
Pria dan wanita saling mengandalkan
Untuk membangun kekuatan bersama
Di ats keunikan masing-masing
Cinta adalah perjalanan
Tanpa henti sepanjang hayat
Di atas debu mendekil kaki
Di atas kerikil menusuk tajam
Cinta adalahn perjalanan
Menyusur pantai menjejak kaki
Di tepi laut berpasir putih
Karang memecah ombak
Cinta adalah perjalanan
Menjadi laut
Menjadi ombak
Menjadi pasir
Ruteng, 11 Maret 2016
DOA
Tuhan
Doa kami
Perahu di tengah lautan
Garang
Terkandas
Di atas karang
Kehidupan
Embusan angin
Berarak awan
Mengolah laut
Dengan dayung
Sepotong kayu
Akankah kami tiba?
Iman berharap
Kasih
Melebur diri
Ruteng, 10 Maret 2016
puisi-puisi frans obon