Netralitas PNS

Oleh FRANS OBON

Kalau kita sedikit nakal, kita mungkin menanyakan ini: siapa yang paling berkepentingan dalam setiap kali pilkada baik di daerah maupun di provinsi. Adakah rakyat? Ya rakyat berkepentingan karena mereka harus memiliki pemimpin yang akan mengatur kehidupan bersama mereka. Pemimpin yang mereka pilih itu akan menyelenggarakan pemerintahan, mengatur kue pembangunan dan mengalokasikan anggaran. Mereka ciptakan program, yang menurut mereka akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kita memerlukan birokrasi karena merekalah yang akan mengatur kehidupan kita mulai dari lahir hingga mati.

Tapi sungguhkah rakyat berkepentingan langsung dengan suksesi? Kita mungkin bisa menepis klaim tersebut – paling tidak dalam beberapa hal. Dalam beberapa diskusi informal, saya sering secara nakal bicara dengan beberapa teman-teman dekat bahwa rakyat boleh runggu rangga (hiruk pikuk) dalam setiap kali suksesi, namun yang paling berkepentingan sebenarnya adalah pegawai negeri sipil. Merekalah yang akan secara langsung berkepentingan. Apa ukurannya?

Lihatlah setelah suksesi berlangsung. Dalam proses menggeser gerbong birokrasi. Hal yang paling menonjol dalam proses ini adalah bagaimana perebutan sumber daya di birokrasi melalui penempatan sumber daya manusia. Ada keributan besar dalam menggeser gerbong birokrasi. Dalam setiap kali suksesi selesai. Mulai dari ujung barat Flores hingga ujung timur Nusa Bunga ini. The right man on the right place (menempatkan orang tepat di tempat yang tepat), sabar dulu.

Masyarakat memang dikibuli dengan berbagai imbauan: pegawai negeri sipil harus netral dalam Pilkada. Kita meneriakkan kata netralitas itu tiap kali pemilihan umum baik di tingkat lokal maupun nasional. Asumsinya birokrasi adalah tenaga profesional, yang akan menjadi abdi masyarakat. Karenanya mereka tidak terikat dengan politik praktis. Siapapun yang menang dalam pilkada, mereka akan tetap menjadi tenaga birokrasi yang profesional.

Kita punya pengalaman. Paling kurang dari sejarah politik Orde Baru yang menggunakan birokrasi sebagai salah satu mesin politiknya. Jalur B dalam Partai Golkar adalah tempat menampung mesin birokrasi itu. Mesin politik Golkar di masa Orde Baru pun begitu powerfull sehingga efektif sampai ke akar rumput.

Keterlibatan pegawai negeri sipil dalam pemilu memang menciptakan ketidakadilan. Sumber daya negara (milik rakyat) seperti fasilitas publik, dana perjalanan dinas, dan mendompleng tugas pokok birokrasi telah menyalahi asas keadilan, asas fairness dalam pemilu.

Reformasi menambah volume suara teriakan kita makin kuat untuk menghentikan keterlibatan pegawai negeri sipil dalam politik pemilu nasional dan lokal. Birokrasi sungguh didorong untuk menjadi mesin pelayanan publik yang mengatasi semua kepentingan politik.

Jabatan Sekretaris Daerah menjadi jabatan puncak dalam karier seorang pegawai negeri sipil. Jika pegawai negeri sipil terjun dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah atau menjadi calon legislatif maka dia harus mengundurkan diri. Aturan itu tentu mau menjunjung tinggi asas fairness. Mencegah seseorang menyalahgunakan fasilitas publik untuk kepentingan politiknya.

Birokrasi dengan demikian sungguh menjadi abdi masyarakat yang profesional, efektif, dan efisien. Karena birokrasi menjangkarkan pelayanan publik yang rasional, efisien, dan efektif.

Ideal itu sama sekali tidak tercapai. Pengalaman di banyak kabupaten di Flores dan Timor serta Sumba sungguh memperlihatkan bahwa pegawai negeri sipil memainkan peran tidak kecil di dalam memobilisasi dukungan suara dalam pemilu baik pilkada maupun pemilu legislatif. Semua itu dilakukan tidak secara terang-terangan melainkan menggunakan jalur extended family dan persuasi lainnya ketika melakukan kunjungan kerja ke tengah masyarakat.

Dalam sejarah politik Indonesia hingga sekarang mesin birokrasi itu selalu jadi magnet bagi partai politik. Pertama, karena birokrasi memiliki jaringan ke massa akar rumput di pedesaan yang umumnya bersifat paternalistik. Sehingga birokrasi menjadi ajang perebutan partai politik. Lihat saja parpol menghitung calon partai yang memenangkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kedua, kepentingan pegawai negeri sipil itu sendiri dalam merebut sumber daya di dalam pemerintahan baik jabatan maupun sumber daya ekonomi.

Mengenai yang pertama, ada tali temali kepentingan antara massa akar rumput terutama extended family seorang pegawai negeri sipil. Kebijakan pemerintah SBY-JK untuk secara bertahap mengangkat tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil adalah peluang baru untuk memperkuat hubungan simbiosis mutualisme di kalangan seorang PNS sebagai elite birokrasi perkotaan dengan massa akar rumput berbasis keluarga di pedesaan.

Terbatasnya lapangan kerja bagi tamatan perguruan tinggi membuat birokrasi pemerintahan menjadi salah satu alternatif terbaik, apalagi dari segi jaminan ekonomi. Elite birokrasi pemerintahan menarik orang-orang di lingkaran pendukung kekuasaannya menjadi tenaga honorer. Karenanya jika kita meneliti pengangkatan tenaga honorer di daerah-daerah, hampir pasti mereka masih bertali temali kekeluargaan dengan pejabat pemerintahan. Sebab tidak ada proses rekrutmen terbuka. Sebagai balasannya massa pedesaan akan mendukung kepentingan politik elite birokrasi tersebut.

Kedua, hubungan simbiosis mutualisme ini dengan basis kekeluargaan pada waktunya akan dipakai oleh elite birokrasi untuk mendukung kepentingannya dalam pilkada. Bukanlah hal mudah bagi PNS untuk bersikap netral dalam pilkada. Siapa yang tidak menabur, dia tidak akan menuai.

Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bersama kongsinya di birokrasi dan pemilik modal bersatu padu untuk menggalang dukungan bagi kemenangan calon kepala daerah. Keuntungan yang dia peroleh nanti adalah dia menduduki jabatan kepala dinas di dalam pemerintahan lokal yang baru itu. Jika dia tidak ikut dalam kongsi tersebut, dia akan berada di luar lingkar elite pemerintahan baru. Dia akan menempati posisi staf ahli, yang di dalam konteks daerah sering posisi tersebut disebut “non-job” secara halus.

Dalam banyak contoh meski elite birokrasi yang dekat dengan bupati dan wakil bupati itu kemampuannya tidak memadai, moralitasnya buruk, menyalahgunakan kekuasaannya, dia tidak akan dilepaskan dari jabatannya. Karena mereka sudah saling tahu dan saling menyokong dalam perebutan kekuasaan politik pemerintahan. Karena itu dalam pilkada, yang paling berkepentingan adalah pegawai negeri sipil.

Di manakah posisi rakyat dari semua ini? Rakyat tetap berada di sudut lain. Pemerintah yang dipilih rakyat itu setelah berkuasa tidak lagi memedulikan teriakan rakyat yang menjadi keprihatinan mereka. Dalam masalah tambang, misalnya, hampir seluruh pemimpin kita di Flores dan Lembata menutup telinga terhadap teriakan menolak tambang. Birokrasi merapat di belakang bupati dan mencibir suara keprihatinan masyarakat.

Flores Pos | Asal Omong | PNS
|6 Juni 2009 |

Tinggalkan komentar