50 Tahun Hierarki Indonesia

Keuskupan Agung Ende merayakan 50 pembentukan hierarki Gereja Katolik Indonesia.

Oleh FRANS OBON

PERAYAAN 50 tahun hierarki Gereja Katolik Indonesia di tingkat Keuskupan Agung Ende dilangsungkan dalam sebuah perayaan ekaristi meriah di Gereja Christo Regi Katedral Ende, Selasa (3/1/2012), yang dipimpin Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota, yang didampingi Provinsial SVD Ende Pater Leo Kleden SVD dan Vikep Ende Romo Adolf Keo Pr dan puluhan imam konselebrantes.

Secara nasional, pesta emas pembentukan hierarki Gereja Katolik Indonesia, sudah dilangsungkan di Gereja Katedral Jakarta, November lalu, bertepatan dengan pertemuan para uskup dari Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI).

Para imam konselebrantes berarak menuju gereja Christo Regi Katedral Ende (@photo/frans obon).

Paus Yohanes XXIII melalui dekrit Quod Christus Adorandus tanggal 3 Januari 1961 menyetujui pembentukan hierarki Gereja Katolik Indonesia. Sebanyak 20 Vikariat Apostolik dan 7 Prefektur Apostolik, dengan kewenangan penuh mengatur pengembalaan umat baik dalam segi pembinaan iman, personel, dan kemandirian finansial, ditingkatkan menjadi keuskupan dengan enam provinsi Gerejani (Keuskupan Agung) yakni Keuskupan Agung Medan, Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Agung Makasar, dan Keuskupan Agung Ende. Kemudian pada tahun 1966 dimekarkan lagi menjadi Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Agung Kupang (1989), Keuskupan Agung Palembang (2003), dan Keuskupan Agung Samarinda (2004).

Secara historis, kehadiran Gereja Katolik di Indonesia sudah hampir lima abad, tetapi pembentukan hierarki Gereja Katolik di Indonesia baru dilakukan tahun 1961.

Pada tahun 1807 dibentuk Prefektur Apostolik Batavia yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Pada tahun 1842 Prefektur Apostolik Batavia ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik. Karena dinilai terlalu luas, maka dibentuklah Vikariat Apostolik dan Prefektur Apostolik yakni Maluku-Irian Jaya (1902), Kalimantan (1905), Sumatera (1911) dan Nusa Tenggara (1913) dan Sulawesi (1919). Pada tahun 1960 dalam sidang di Girisonta, Jawa Tengah, para Wali Gereja Indonesia menulis surat kepada Sri Paus di Roma agar meresmikan berdirinya hierarki Gereja Indonesia. Permintaan ini disambut positif dan Paus Yohanes XXIII menerbitkan Dekrit Quod Christus Adorandus, tanggal 3 Januari 1961.

Tim Pastoral Antar Paroki Tetangga (TPAT) Worona menanggung liturgi ekaristi dengan tugas Paroki Nonda menanggung koor, Paroki Wolotopo menanggung tarian, dan lektor, ajuda dan komentator dari Paroki Roworeke.

Para imam Katolik menghadiri perayaan ekaristi. (@photo/frans obon)

Pembentukan hierarki Gereja Katolik Indonesia, kata Uskup Sensi, merupakan “berkat yang amat menentukan bagi perkembangan Gereja Katolik di Indonesia”, sebab kekatolikan telah hadir di Indonesia selama lima abad, tapi usia hierarkinya baru 50 tahun atau setengah abad.

Menyitir seorang misiolog dari Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) Indonesia Pater Raymundus Sudiarsa SVD, perayaan 50 tahun hierarki Gereja Katolik Indonesia, kata Uskup Sensi, adalah juga perayaan tanggung jawab. Gereja Katolik Indonesia diserahi tanggung jawab untuk lebih mantap, lebih dalam mengeksplorasi potensi-potensi yang ada baik dalam segi pembinaan iman, personel maupun finansial, bahkan teologi lokal agar kehadiran Gereja Katolik tidak saja dirasakan secara ke dalam melainkan dirasakan kehadirannya oleh dunia, masyarakat dan bangsa Indonesia.

Bagi Gereja Katolik Keuskupan Agung Ende pada bulan yang sama pada tanggal 28 Januari 1961, Vatikan mengangkat uskup pribumi pertama Mgr Gabriel Manek SVD. Pastor Gabriel Manek adalah satu dari imam pribumi pertama di Nusa Tenggara, di bawah didikan imam-imam dari Serikat Sabda Allah. Uskup Manek ditahbiskan menjadi Uskup Larantuka, lalu kemudian bertukar tempat menjadi Uskup Agung Ende, dengan Mgr Anton Thijssen SVD – Uskup Thijssen adalah salah satu uskup dari Flores, yang ikut memainkan peran dalam Konsili Vatikan II di Roma pada tahun 1961.

Perkembangan Gereja Katolik Flores, terutama di Flores tengah yang subur ini, jelas Uskup Sensi, telah memberikan harapan bagi perkembangan gereja universal. Pola pastoral turne (kunjungan ke paroki-paroki di pedesaan) pada masa itu, dengan jumlah imam 114 orang, 60 bruder, 146 suster dan 51 stasi, telah menanamkan benih iman yang kuat. Uskup melakukan turne dari Aimere di Ngada hingga Boganatar di Sikka, dan berjalan dari satu stasi ke stasi lain di empat dekenat yakni Dekenat Ende-Lio, Dekenat Bajawa, Dekenat Maumere, dan Dekenat Boawae.

Umat katolik menghadiri perayaan ekaristi. (@photo/frans obon)

Karya pewartaan gereja dengan pola pastoral turne ini dijalankan dalam kerja sama yang erat dengan para awam dan guru-guru Katolik yang berada di bawah Yayasan Vedapura dan cabang-cabangnya yang disebut Ketua Vedapura Setempat (KVS). Gereja Katolik, lanjut Uskup, terus mengembangkan ekonomi umat, membangun sarana kesehatan, dan membangun pendidikan.

Kerja keras para gembala ini, kata Uskup Sensi, telah memberikan buah manis yakni meningkatnya panggilan hidup membiara, terpenuhinya personel, dan menguatnya kemandirian umat.

“Mutu iman umat juga sudah berkembang dan muncul rasa tanggung jawab serta partisipasi umat yang membanggakan. Solidaritas sosial tak hanya slogan tapi sangat menonjol. Kita tidak susah menemukan kader-kader bermutu di berbagai lembaga,” katanya.

Bahkan sampai saat ini Flores telah mengirim 400 misionaris untuk bekerja di lima benua. “Belum terhitung orang Flores yang masuk biara atau tarekat di luar Flores”.

“Kemandirian telah memberi kesan bahwa Gereja telah semakin mengindonesia,” lanjutnya.

Uskup menilai keberhasilan ini setidaknya dilandasi pada tiga hal mendasar bahwa Gereja Katolik Indonesia setia dan konsisten mendengarkan bisikan suara Roh Tuhan, Roh Allah sendiri. Kedua, keberhasilan ini didorong oleh kasih pengabdian yang sungguh-sungguh keluar dari hati yang terdalam dan relasi yang mendalam dengan Tuhan. Seperti Kristus bertanya tiga kali kepada Petrus: Apakah engkau mengasihi Aku? Karena mutu kasih pengabdian itulah, maka Kristus menyerahkan gereja kepada Petrus, uskup pertama. Ketiga, kehadiran Gereja tidak mungkin bertahan tanpa jaminan kehadiran Tuhan sendiri.

Flores Pos edisi 4 Januari 2012,  pp1,15

Tinggalkan komentar