Pendidikan di Ende

Patung pelajar di Kota Ende.
Patung pelajar di Kota Ende.

Oleh FRANS OBON

Bupati Ende Don Bosco M Wangge memberikan beberapa catatan pada rapat koordinasi pendidikan yang digelar Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO) Kabupaten Ende di aula BBK Ende, Senin (3/2/2014). Sebagai mantan Kepala Dinas PPO Kabupaten Ende sebelum menjabat Bupati Ende (2009-2014) Bupati Don Wangge pasti mengenal problematika dunia pendidikan. Beberapa catatan yang diberikan Bupati Don Wangge adalah peringatan kepada kepala sekolah dan para pengawas sekolah agar tidak sering meninggalkan tugas, menguasai visi dan misi pendidikan kabupaten dan sekolah serta menjadikannya sebagai bagian dari dirinya. Bupati Don Wangge berharap rapat koordinasi itu menghasilkan keputusan yang dapat membantu penyusunan rencana strategis bidang pendidikan untuk Bupati dan Wakil Bupati terpilih, yang akan dilantik 7 April 2014 (Flores Pos, 5 Februari 2014).

Hal lain yang disoroti adalah soal mutu pendidikan sangat fluktuatif. Pada tahun 1970-1980, Kota Ende dikategorikan sebagai kota pelajar sehingga menjadi barometer pendidikan di NTT. Tetapi, tahun 1990-an mutu pendidikan di Ende merosot, terutama dari hasil Ujian Nasional tahun 2010-2012, meskipun pengelolaan pendidikan tidak semata-mata diukur dari Ujian Nasional. Bupati Don Wangge berharap pendidikan masih menjadi prioritas dalam pembangunan Kabupaten Ende ke depan.

Jika kita menoleh kembali posisi Kabupaten Ende dalam konteks sejarah Flores dan Lembata, tentu saja kita akan bangga bahwa dalam perjalanannya, Kota Ende merupakan pusat pemerintahan daerah Flores dan pusat pendidikan di masa lalu. Kota Ende sebagai pusat pemerintahan daerah Flores tentu saja memberikan keuntungan di mana seluruh sumber daya terbaik masyarakat Flores dan Lembata terpusat di Kota Ende. Oleh karena itu dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, Kota Ende menunjukkan kualitasnya pada pentas nasional. Tokoh-tokoh Flores dan Lembata baik pada masa Orde Lama maupun pada masa-masa awal Orde Baru berperan penting dalam kehidupan politik nasional.

Namun kedudukan sentral Kota Ende itu memberikan implikasi lain yakni wajah Kota Ende makin plural dari segi agama dan etnis. Ibarat bunga-bunga dari berbagai macam warna yang ditata dengan bagus, Kota Ende memperlihatkan kekuatannya. Tetapi kekuatan itu sekaligus menyembunyikan kerapuhannya yang tercermin dalam rivalitas etnik di dalam kehidupan masyarakat Flores dan Lembata. Karena bunga-bunga warna-warni yang indah itu tokh ditaruh di atas pot yang memang rapuh (fragile) pada hakikatnya. Harta kekuatan masyarakat majemuk ini memang ditaruh di dalam bejana tanah liat. Masalah ini terus muncul mulai dari pembentukan kabupaten-kabupaten di Flores dan Lembata 1958 hingga masa Reformasi saat ini.

Kekuatan Ende bukan saja terletak pada pemerintahannya, tetapi juga pada kekuatan Gereja Katolik dengan posisi Keuskupan Agung Ende yang sentral yang meliputi seluruh wilayah Nusa Tenggara, yang perlahan-lahan kemudian dimekarkan menjadi keuskupan-keuskupan lokal. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Gereja Katolik berperan penting dalam bidang pendidikan, terutama bidang pendidikan dasar, lalu perlahan-lahan pada tingkat pendidikan guru dan sekolah menengah atas.

Dalam pendidikan tinggi, dengan dibukanya Undana Cabang Ende, maka lengkaplah sudah Kota Ende sebagai pusat pendidikan tinggi di Flores, selain Akademi Pendidikan Kateketik (APK) di Ruteng yang terkenal itu. Ketika Undana Cabang Ende ditutup, para Bupati di Flores dan Gereja Katolik sama-sama menganggap penting perlu dibukanya universitas di Flores, yang kemudian bernama Universitas Flores.

Konteks historis ini disebut agar kita bisa memahami kedudukan Kota Ende pada masa lalu dan implikasinya bagi dunia pendidikan kita,yang memang sejak awal kehadirannya Gereja Katolik Flores memberi prioritas pada pendidikan. Tahun 2013, dunia pendidikan di Flores memasuki usia 100 tahun. Kita memang kecewa, pemerintah lokal kita tidak merayakannya sebagai sebuah titik awal yang menentukan bagi perjalanan pendidikan di Flores dan Lembata. Momen ini tidak dipakai untuk melihat kembali berbagai usaha untuk memajukan sumber daya manusia di Flores dan menyusun bersama langkah ke depan.

Sejalan dengan tersebarnya kekuasaan politik pemerintahan dan pemekaran keuskupan-keuskupan setempat di Flores, maka perlahan-lahan pula kedudukan Ende sebagai sentral di Flores berkurang. Ende tidak bisa menjadi kiblat dunia pendidikan. Saat ini banyak sekolah bermutu terdapat di berbagai kabupaten dan keuskupan di Flores. Saat ini hampir semua kabupaten memiliki perguruan tinggi mulai dari Ruteng, Bajawa, Ende, Maumere, dan Flotim. Dengan demikian Ende bukanlah satu-satunya lagi kota pelajar. Oleh karena itu ke depan, pertarungannya adalah bagaimana kita menciptakan keunggulan komperatif terutama soal mutu pendidikan di Flores. Orang akan tertarik mengikuti pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi yang bermutu. Di situlah letak kekuatan baru dalam konteks pendidikan di Flores. Dengan itu mimpi kita untuk kembali menjadikan Ende sebagai sentral adalah usaha yang tidak ringan.

Bentara, 7 Februari 2014

Tinggalkan komentar